Friday, November 2, 2018
PARANOID -story-
Langit begitu gelap, waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Aku berjalan di bawah cahaya lampu jalan yang berwarna kekuningan secepat mungkin. Langkah kakiku semakin cepat, kekhawatiran terus menghantuiku.
Kadang kutolehkan kepalaku ke belakang karena suara-suara yang tiba-tiba saja muncul. Aku meneguk ludah, sedikit menyesali keputusanku untuk pulang saat ini juga, dan tidak menginap di tempat lain. Aku takut, aku takut, aku takut.
Setelah sekian lama berjalan cepat, aku pun menghentikan langkahku. Bukan karena Lelah, tapi karena ada seseorang di hadapanku. Orang itu tampak masih berjarak cukup jauh, ia terlihat seperti laki-laki… dan sedang membawa sebuah tongkat. Orang itu melihatku, seakan ia dapat merasakan tatapanku.
Tubuhku seakan terpaku, kakiku membeku, lidahku bergetar. Orang itu perlahan melangkah maju ke arahku sambal menyeret tongkat yang dibawanya. Hatiku siap untuk berlari, namun tubuhku tidak dapat kukendalikan. Akhirnya, kututup mataku.
Aku menunggu, dan menunggu. Tidak terjadi apa-apa.
Aku membuka mataku, dan melihat orang itu telah hilang dari hadapanku. Aku pun melihat ke belakang, dan mendapati orang yang kutakuti dari tadi hanyalah seorang kakek tua, dan tongkat yang ia pegang digunakan untuk menusuk sampah-sampah yang ada di jalan. Aku pun menghela nafas lega, dan mulai melanjutkan sisa perjalananku yang (semoga) tidak akan berlangsung lama.
Angin mulai berhembus ke arahku, meniup wajahku dan rambutku, membuatku sedikit menggigil.
Suara ranting pohon dan dedaunan pun mulai meramaikan malam. Namun, aku menyadari ada sesuatu yang lain.
SREKK SREKK SREKK
Aku mendengar suara gesekan yang aneh di balik tembok di gang sebelah. Lagi-lagi langkahku terhenti. Aku tau, kalau aku tidak cepat-cepat pergi dari sini, aku akan menjadi sasaran empuk bagi ‘sesuatu’ itu. Keringat mulai membanjiri wajahku, walau udara begitu dingin. Semakin lama, suara itu semakin mengusikku. Aku ingin berteriak, tapi tidak mungkin ada yang masih terjaga, sehingga kemungkinan justru ‘sesuatu’ itu akan menyadari keberadaanku, dan…
Aku termakan oleh pikiranku sendiri. Aku menutup telingaku, dan hendak berlari. Namun kakiku belum mau menuruti perintahku, sehingga aku pun terjatuh setelah mengambil beberapa langkah.
Dengan tubuh masih menyentuh tanah, aku mengintip ke arah sumber suara, yang kini berada dalam area penglihatanku.
Lagi-lagi aku merasa malu dengan pemikiranku yang berlebihan. Hal itu, ‘sesuatu’ yang kutakuti dari tadi, tidak lebih dari sekedar pintu kayu yang tertiup angin dan menggesek tembok yang tidak rata.
Siapa sangka kalau hal sepele terasa begitu mengerikan ketika sedang tidak tampak.
Aku pun bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pakaianku yang kotor terkena tanah. Untung saja, sepertinya aku tidak terluka saat jatuh tadi, sehingga aku dapat melanjutkan perjalananku dengan tempo yang sama. Tinggal sedikit lagi, hanya tinggal satu belokan lagi, dan aku akan sampai di tujuan.
Hatiku tidak tenang, aku terus merasa khawatir setiap muncul sesuatu, seseorang, binatang, atau bahkan daun yang terbang tertiup angin. Aku dapat mendengar suara nafasku sendiri yang semakin memburu.
Pagar rumahku telah tampak di mataku. Leherku terasa tercekik, rasa genggaman keras di dadaku terasa semakin kuat seiring dengan berkurangnya jarak antara aku dan rumah yang sangat familiar di mataku.
Sesampainya di depan pagar, tanganku yang bergetar berusaha meraih kunci di sakuku dan memasukannya ke lubang kunci yang kecil. Kukutuk diriku sendiri dan tanganku yang tidak dapat melakukan hal sepele itu dengan cepat. Setelah, itu, aku pun segera menutup kembali pagar rumahku dan berlari memasuki rumah, dan menuju kamarku. Aku melempar tubuhku ke atas kasur, menyelimuti tubuhku yang menggigil setelah sekian lama terkena hembusan angin malam.
Saat ini, aku merasa sangat tenang, dan meras bodoh telah merasa cemas sepanjang perjalanan. Aku pun memejamkan mataku, yang semakin lama semakin terasa berat.
Untuk yang terakhir kalinya, sebelum terlelap ke alam mimpi, aku membuka sedikit mataku.
Kulihat tanah beraspal yang ternodai oleh cairan kental berwarna merah tua. Cahaya lampu berwarna kekuningan menjadi satu-satunya sumber cahaya. Di pinggangku, tertancap pisau yang cukup dalam.
Tubuhku menggigil, gemetar, dan tidak dapat kugerakan. Aku tidak lagi dapat merasa sakit.
Ah, andai saja semua ini hanyalah pikiran-pikiranku yang berlebihan, dan saat ini aku telah sampai di rumahku, di kamarku, di balik selimutku yang hangat.
Andai semua ini hanya aku yang sedang PARANOID.
Kadang kutolehkan kepalaku ke belakang karena suara-suara yang tiba-tiba saja muncul. Aku meneguk ludah, sedikit menyesali keputusanku untuk pulang saat ini juga, dan tidak menginap di tempat lain. Aku takut, aku takut, aku takut.
Setelah sekian lama berjalan cepat, aku pun menghentikan langkahku. Bukan karena Lelah, tapi karena ada seseorang di hadapanku. Orang itu tampak masih berjarak cukup jauh, ia terlihat seperti laki-laki… dan sedang membawa sebuah tongkat. Orang itu melihatku, seakan ia dapat merasakan tatapanku.
Tubuhku seakan terpaku, kakiku membeku, lidahku bergetar. Orang itu perlahan melangkah maju ke arahku sambal menyeret tongkat yang dibawanya. Hatiku siap untuk berlari, namun tubuhku tidak dapat kukendalikan. Akhirnya, kututup mataku.
Aku menunggu, dan menunggu. Tidak terjadi apa-apa.
Aku membuka mataku, dan melihat orang itu telah hilang dari hadapanku. Aku pun melihat ke belakang, dan mendapati orang yang kutakuti dari tadi hanyalah seorang kakek tua, dan tongkat yang ia pegang digunakan untuk menusuk sampah-sampah yang ada di jalan. Aku pun menghela nafas lega, dan mulai melanjutkan sisa perjalananku yang (semoga) tidak akan berlangsung lama.
Angin mulai berhembus ke arahku, meniup wajahku dan rambutku, membuatku sedikit menggigil.
Suara ranting pohon dan dedaunan pun mulai meramaikan malam. Namun, aku menyadari ada sesuatu yang lain.
SREKK SREKK SREKK
Aku mendengar suara gesekan yang aneh di balik tembok di gang sebelah. Lagi-lagi langkahku terhenti. Aku tau, kalau aku tidak cepat-cepat pergi dari sini, aku akan menjadi sasaran empuk bagi ‘sesuatu’ itu. Keringat mulai membanjiri wajahku, walau udara begitu dingin. Semakin lama, suara itu semakin mengusikku. Aku ingin berteriak, tapi tidak mungkin ada yang masih terjaga, sehingga kemungkinan justru ‘sesuatu’ itu akan menyadari keberadaanku, dan…
Aku termakan oleh pikiranku sendiri. Aku menutup telingaku, dan hendak berlari. Namun kakiku belum mau menuruti perintahku, sehingga aku pun terjatuh setelah mengambil beberapa langkah.
Dengan tubuh masih menyentuh tanah, aku mengintip ke arah sumber suara, yang kini berada dalam area penglihatanku.
Lagi-lagi aku merasa malu dengan pemikiranku yang berlebihan. Hal itu, ‘sesuatu’ yang kutakuti dari tadi, tidak lebih dari sekedar pintu kayu yang tertiup angin dan menggesek tembok yang tidak rata.
Siapa sangka kalau hal sepele terasa begitu mengerikan ketika sedang tidak tampak.
Aku pun bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pakaianku yang kotor terkena tanah. Untung saja, sepertinya aku tidak terluka saat jatuh tadi, sehingga aku dapat melanjutkan perjalananku dengan tempo yang sama. Tinggal sedikit lagi, hanya tinggal satu belokan lagi, dan aku akan sampai di tujuan.
Hatiku tidak tenang, aku terus merasa khawatir setiap muncul sesuatu, seseorang, binatang, atau bahkan daun yang terbang tertiup angin. Aku dapat mendengar suara nafasku sendiri yang semakin memburu.
Pagar rumahku telah tampak di mataku. Leherku terasa tercekik, rasa genggaman keras di dadaku terasa semakin kuat seiring dengan berkurangnya jarak antara aku dan rumah yang sangat familiar di mataku.
Sesampainya di depan pagar, tanganku yang bergetar berusaha meraih kunci di sakuku dan memasukannya ke lubang kunci yang kecil. Kukutuk diriku sendiri dan tanganku yang tidak dapat melakukan hal sepele itu dengan cepat. Setelah, itu, aku pun segera menutup kembali pagar rumahku dan berlari memasuki rumah, dan menuju kamarku. Aku melempar tubuhku ke atas kasur, menyelimuti tubuhku yang menggigil setelah sekian lama terkena hembusan angin malam.
Saat ini, aku merasa sangat tenang, dan meras bodoh telah merasa cemas sepanjang perjalanan. Aku pun memejamkan mataku, yang semakin lama semakin terasa berat.
Untuk yang terakhir kalinya, sebelum terlelap ke alam mimpi, aku membuka sedikit mataku.
Kulihat tanah beraspal yang ternodai oleh cairan kental berwarna merah tua. Cahaya lampu berwarna kekuningan menjadi satu-satunya sumber cahaya. Di pinggangku, tertancap pisau yang cukup dalam.
Tubuhku menggigil, gemetar, dan tidak dapat kugerakan. Aku tidak lagi dapat merasa sakit.
Ah, andai saja semua ini hanyalah pikiran-pikiranku yang berlebihan, dan saat ini aku telah sampai di rumahku, di kamarku, di balik selimutku yang hangat.
Andai semua ini hanya aku yang sedang PARANOID.
Subscribe to:
Posts (Atom)